Home

Senin, 18 Februari 2013

Kejujuran itu Indah


Tema  : Kejujuran itu indah
Izinkan Aku Memelukmu Ayah

            Dari tadi sore Warna masih bermain bersama ibunya. Warna merupakan seorang gadis belia yang masih berusia 8 tahun, Warna selalu bertanya pada ibu dimana ayahnya, tapi ibu tak pernah menjawab. Warna selalu sedih bila melihat gadis seusianya bersenda gurau bersama ayahnya.
            “Ibu, ayah ada dimana? Kenapa ayah gak pernah pulang ke rumah? Apa ayah gak kangen sama Warna?” tanya warna dengan penuh kepolosan.
            “Ayahmu sedang berada diluar kota nak, ayah akan pulang bila pekerjaannya telah selesai. Tentu ayah sangat kangen sekali dengan Warna.” Jawab ibu dengan menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
            “Kapan ayah puang bu? Dari Warna kecil ayah gak pernah pulang ke rumah, Warna ingin bertemu dengannya.” Warna merengek kepada ibunya.
            “Ayah pasti akan pulang secepatnya sayang, kamu shabar saja.” Ibu mencoba untuk menenangkan Warna, tapi Warna bersikeras ingin bertemu dengan ayahnya.
            Disetiap harinya Warna pun terus memikirkan ayahnya, sampai dia jatuh sakit. Sejak kecil Warna memang telah ditinggalkan oleh ayahnya, ayahnya telah meninggal karena kecelakaan. Ibunya tak berani mengatakan yang sejujurnya pada Warna karena dia takut bila anaknya tahu sebelum mengerti apa itu hidup, dia akan menganggap bahwa Tuhan tak menyayanginya dan sengaja mengambil ayahnya agar dia tak pernah bertemu dengan ayahnya.
            Hari demi hari telah Warna lewati tanpa hadirnya seorang ayah, ya 8 tahun memang bukanlah waktu yang singkat, itu adalah waktu yang teramat panjang baginya. Sampai suatu hari ketika ada acara pentas seni disekolahnya, ibu guru mengharuskan setiap siswa didiknya datang bersama ayahnya masing-masing. Warna pun kebingungan, siapa yang akan menemaninya pada acara tersebut?
            Warna pun sampai dirumah dengan isak tangis yang tak henti-berhentinya. Ketika ibunya pulang, dia mendapati Warna sedang termenung sendiri di kamarnya dengan keadaan kamar yang sangat berantakan.
            “Kamu kenapa sayang?” Tanya ibu menghampiri Warna dan memeluknya.
            “Warna ingin ayah pulang bu, suruh ayah pulang sekarang.” Warna pun meminta agar ayahnya pulang dengan isak tangis yang semakin keras.
            “Tapi ayah gak mungkin pulang sekarang, ayah sedang sibuk. Memangnya ada apa?” Mencoba menenangkan Warna yang sangat menginginkan ayahnya pulang.
            “Sekolah Warna mau mengadakan pentas seni, dan diharuskan membawa ayah. Warna ingin pergi ke acara itu bersama ayah bu.” Jelas Warna dengan nada terbata-bata.
            “Yasudah, ayah kan gak mungkin bisa pulang, biar ibu saja yang menemanimu, kamu jangan bersedih lagi.” Ibu mencoba mencari solusinya.
            “Tapi kata ibu guru harus bersama ayah.” Sanggah Warna.
            “Tak apa nak, nanti biar ibu yang bicara dengan gurumu. Ibu guru pasti mengerti kok dengan keadaan ayah Warna.” Ibu mencoba meyakinkan Warna dan mencium keningnya.
            Tak lama kemudian, Warna pun tertidur dalam pangkuan ibunya. Warna memang kelelahan, setelah tadi berolahraga, dia menangis seharian. Ibunya pun terus mencari solusi bagaimana caranya untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayah Warna, ibunya sudah tak bisa lagi untuk membohongi Warna, semakin hari dia pasti semakin ingin bertemu dengan ayahnya, dan tak mungkin ibunya terus berkata bahwa ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
            Acara pentas seni pun dimulai, Warna datang bersama ibu, tapi sesampainya di sekolah, Warna mengajak ibunya untuk kembali lagi ke rumah.
            “Ayo bu kita pulang lagi aja, Warna malu karena Warna gak dateng bareng ayah.” Ajak Warna pada ibunya.
            “Loh kok gitu sih nak, ibu udah bicara pada ibu gurumu, katanya gak bareng ayah juga gak apa-apa.” Ibunya membujuk Warna agar mau masuk ke sekolah, dan akhirnya warna pun mengikuti apa yang ibu katakan.
            Tiba-tiba ada gadis seusianya yang menghampiri Warna dan ibunya.
            “Warna, kenapa kamu kesini sama ibu kamu? Kemana ayah kamu? Kan kata ibu guru, kesininya harus sama ayah.” Nayla bertanya dengan penuh kepolosan.
            “Ayah Warna sibuk sayang, jadi Warna kesininya ditemani tante.” Jawab ibu dengan segera.
            Acara pentas seni berlangsung dengan lancar, ketika dalam perjalanan, ibu berencana sesampainya di rumah dia akan memberitahu Warna apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya. Ibunya berharap Warna dapat mengerti.
            “Sayang, ibu mau bicara sama kamu, tapi kamu janji dulu kalau kamu gak akan marah setelah ibu bicara, janji ya?” Ibu mulai pembicaraannya.
            “Bicara apa ibu? Iya Warna janji, Warna gak akan marah kok bu.” Warna menjawab dengan berjanji bahwa dia tak akan marah mendengar semua yang ibu katakan.
            “Begini nak, ini soal ayahmu, sebenarnya ...” Pembicaraan ibu terpotong, ibu ragu untuk mengatakannya.
            “Tentang ayah? Ada apa dengan ayah bu? Ayah mau pulang?” Beribu pertanyaan pun datang dari Warna.
            “Bukan nak, sebenarnya selama ini ibu berbohong kepadamu tentang ayah. Ayahmu sudah meninggal, dia meninggal ketika sedang dalam perjalanan pulang dari Surabaya. Saat itu ibu tengah melahirkan kamu nak.” Jelas ibu.
            “Jadi selama ini ayah sudak tidak ada? Kenapa ibu baru mengatakannya sekarang? Padahal Warna sangat ingin sekali memeluk ayah bu.” Warna meneteskan air matanya.
            “Iya nak, dulu ibu tak berani mengatakannya, ibu takut kalau kamu tak bisa menerimanya.” Ibu menjelaskan kembali dan memeluk Warna.
            “Tenang bu, Warna mengerti kok, tapi Warna ingin melihat makam ayah.” Warna meminta dengan penuh harap.
            Akhirnya Warna pun pergi ke makam ayahnya bersama ibu, Warna berdo’a dalam hati agar kelak Warna bisa memeluk ayahnya, Warna sangat ingin memeluk ayah, izinkan Warna memeluk ayah, Tuhan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar