Tema :
Kejujuran itu indah
Izinkan Aku Memelukmu Ayah
Dari tadi sore Warna masih bermain bersama ibunya. Warna merupakan seorang
gadis belia yang masih berusia 8 tahun, Warna selalu bertanya pada ibu dimana
ayahnya, tapi ibu tak pernah menjawab. Warna selalu sedih bila melihat gadis
seusianya bersenda gurau bersama ayahnya.
“Ibu, ayah ada dimana? Kenapa ayah gak pernah pulang ke rumah? Apa ayah gak
kangen sama Warna?” tanya warna dengan penuh kepolosan.
“Ayahmu sedang berada diluar kota nak, ayah akan pulang bila pekerjaannya telah
selesai. Tentu ayah sangat kangen sekali dengan Warna.” Jawab ibu dengan
menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Kapan ayah puang bu? Dari Warna kecil ayah gak pernah pulang ke rumah, Warna
ingin bertemu dengannya.” Warna merengek kepada ibunya.
“Ayah pasti akan pulang secepatnya sayang, kamu shabar saja.” Ibu mencoba untuk
menenangkan Warna, tapi Warna bersikeras ingin bertemu dengan ayahnya.
Disetiap harinya Warna pun terus memikirkan ayahnya, sampai dia jatuh sakit.
Sejak kecil Warna memang telah ditinggalkan oleh ayahnya, ayahnya telah
meninggal karena kecelakaan. Ibunya tak berani mengatakan yang sejujurnya pada
Warna karena dia takut bila anaknya tahu sebelum mengerti apa itu hidup, dia
akan menganggap bahwa Tuhan tak menyayanginya dan sengaja mengambil ayahnya
agar dia tak pernah bertemu dengan ayahnya.
Hari demi hari telah Warna lewati tanpa hadirnya seorang ayah, ya 8 tahun
memang bukanlah waktu yang singkat, itu adalah waktu yang teramat panjang
baginya. Sampai suatu hari ketika ada acara pentas seni disekolahnya, ibu guru
mengharuskan setiap siswa didiknya datang bersama ayahnya masing-masing. Warna
pun kebingungan, siapa yang akan menemaninya pada acara tersebut?
Warna pun sampai dirumah dengan isak tangis yang tak henti-berhentinya. Ketika
ibunya pulang, dia mendapati Warna sedang termenung sendiri di kamarnya dengan
keadaan kamar yang sangat berantakan.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya ibu menghampiri Warna dan memeluknya.
“Warna ingin ayah pulang bu, suruh ayah pulang sekarang.” Warna pun meminta
agar ayahnya pulang dengan isak tangis yang semakin keras.
“Tapi ayah gak mungkin pulang sekarang, ayah sedang sibuk. Memangnya ada apa?”
Mencoba menenangkan Warna yang sangat menginginkan ayahnya pulang.
“Sekolah Warna mau mengadakan pentas seni, dan diharuskan membawa ayah. Warna
ingin pergi ke acara itu bersama ayah bu.” Jelas Warna dengan nada
terbata-bata.
“Yasudah, ayah kan gak mungkin bisa pulang, biar ibu saja yang menemanimu, kamu
jangan bersedih lagi.” Ibu mencoba mencari solusinya.
“Tapi kata ibu guru harus bersama ayah.” Sanggah Warna.
“Tak apa nak, nanti biar ibu yang bicara dengan gurumu. Ibu guru pasti mengerti
kok dengan keadaan ayah Warna.” Ibu mencoba meyakinkan Warna dan mencium
keningnya.
Tak lama kemudian, Warna pun tertidur dalam pangkuan ibunya. Warna memang
kelelahan, setelah tadi berolahraga, dia menangis seharian. Ibunya pun terus
mencari solusi bagaimana caranya untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi
pada ayah Warna, ibunya sudah tak bisa lagi untuk membohongi Warna, semakin
hari dia pasti semakin ingin bertemu dengan ayahnya, dan tak mungkin ibunya
terus berkata bahwa ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Acara pentas seni pun dimulai, Warna datang bersama ibu, tapi sesampainya di
sekolah, Warna mengajak ibunya untuk kembali lagi ke rumah.
“Ayo bu kita pulang lagi aja, Warna malu karena Warna gak dateng bareng ayah.”
Ajak Warna pada ibunya.
“Loh kok gitu sih nak, ibu udah bicara pada ibu gurumu, katanya gak bareng ayah
juga gak apa-apa.” Ibunya membujuk Warna agar mau masuk ke sekolah, dan
akhirnya warna pun mengikuti apa yang ibu katakan.
Tiba-tiba ada gadis seusianya yang menghampiri Warna dan ibunya.
“Warna, kenapa kamu kesini sama ibu kamu? Kemana ayah kamu? Kan kata ibu guru,
kesininya harus sama ayah.” Nayla bertanya dengan penuh kepolosan.
“Ayah Warna sibuk sayang, jadi Warna kesininya ditemani tante.” Jawab ibu
dengan segera.
Acara pentas seni berlangsung dengan lancar, ketika dalam perjalanan, ibu
berencana sesampainya di rumah dia akan memberitahu Warna apa yang sebenarnya
terjadi pada ayahnya. Ibunya berharap Warna dapat mengerti.
“Sayang, ibu mau bicara sama kamu, tapi kamu janji dulu kalau kamu gak akan
marah setelah ibu bicara, janji ya?” Ibu mulai pembicaraannya.
“Bicara apa ibu? Iya Warna janji, Warna gak akan marah kok bu.” Warna menjawab
dengan berjanji bahwa dia tak akan marah mendengar semua yang ibu katakan.
“Begini nak, ini soal ayahmu, sebenarnya ...” Pembicaraan ibu terpotong, ibu
ragu untuk mengatakannya.
“Tentang ayah? Ada apa dengan ayah bu? Ayah mau pulang?” Beribu pertanyaan pun
datang dari Warna.
“Bukan nak, sebenarnya selama ini ibu berbohong kepadamu tentang ayah. Ayahmu
sudah meninggal, dia meninggal ketika sedang dalam perjalanan pulang dari
Surabaya. Saat itu ibu tengah melahirkan kamu nak.” Jelas ibu.
“Jadi selama ini ayah sudak tidak ada? Kenapa ibu baru mengatakannya sekarang?
Padahal Warna sangat ingin sekali memeluk ayah bu.” Warna meneteskan air
matanya.
“Iya nak, dulu ibu tak berani mengatakannya, ibu takut kalau kamu tak bisa
menerimanya.” Ibu menjelaskan kembali dan memeluk Warna.
“Tenang bu, Warna mengerti kok, tapi Warna ingin melihat makam ayah.” Warna
meminta dengan penuh harap.
Akhirnya Warna pun pergi ke makam ayahnya bersama ibu, Warna berdo’a dalam hati
agar kelak Warna bisa memeluk ayahnya, Warna sangat ingin memeluk ayah, izinkan
Warna memeluk ayah, Tuhan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar